Pengantar
Kebijakan Desentralisasi bidang Kesehatan sebetulnya telah disusun pada bulan Januari 2001 tetapi sesuai dengan kebutuhan, kebijakan itu dikembangkan menjadi langkah strategis untuk menyelesaikan berbagai hambatan dan tantangan yang dihadapi Pusat dan Daerah karena berbagai peraturan untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi dan berbagai pedoman teknis memang belum semua ada. Tujuan penerbitan Buku Kebijakan dan Strategi Desentralisasi bidang Kesehatan ini adalah menyamakan persepsi tentang Kebijakan dan Strategi Desentralisasi bidang Kesehatan dan untuk mengisi kesenjangan informasi yang mungkin ada di Pusat, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan demikian diharapkan semua unit yang terlibat dalam sistem kesehatan mendukung penerapan desentralisasi agar Pembangunan Kesehatan Nasional yang dilaksanakan di Daerah tetap berkesinambungan dalam rangka memenuhi hak setiap orang untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai pasal 28H Undang Undang Dasar 1945. Desentralisasi menyebabkan perubahan mendasar dalam tatanan pemerintahan sehingga terjadi juga perubahan peran dan fungsi birokrasi mulai dari tingkat Pusat sampai ke Daerah. Perubahan yang mendasar itu memerlukan juga pengembangan kebijakan yang mendukung penerapan desentralisasi dalam mewujudkan pembangunan kesehatan sesuai kebutuhan Daerah dan diselenggarakan secara efisien, efektif dan berkualitas. Saat ini adalah masa transisi yang sering menimbulkan kebingungan di antara tenaga kesehatan baik di Pusat maupun Daerah. Sejak diberlakukan Otonomi Daerah secara penuh pada 1 Januari 2001, telah ditemukan berbagai masalah yang sangat kompleks sehingga perlu penanganan masalah yang komprehensif secara bertahap. Untuk menindak lanjuti Kebijakan Desentralisasi bidang Kesehatan yang telah disusun pada Januari 2001, berbagai kegiatan harus dilaksanakan lintas unit utama di Departemen Kesehatan, oleh karena itu sejak bulan Juli 2001 telah dibentuk Unit Desentralisasi. Unit ini berfungsi sejak bulan Juli 2001, mekanisme kerja dan tugasnya ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan dan disempurnakan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor: 003A/MENKES/SK/I/2003. Unit Desentralisasi dibentuk dengan tujuan untuk membantu Menteri Kesehatan dalam melakukan analisis dan memberikan alternatif saran tentang kebijakan dan strategi desentralisasi bidang Kesehatan sehingga dapat menjamin tersedianya pelayanan kesehatan masyarakat terutama bagi kelompok rentan dan miskin. Salah satu produk yang dihasilkan Unit Desentralisasi adalah Buku Kebijakan dan Strategi Desentralisasi bidang Kesehatan ini yang merupakan dokumen tertulis yang berisi Tujuan dan Prinsip-prinsip Desentralisasi, Hambatan dan Tantangan, Strategi, Langkah Kunci dan Kegiatan. Strategi dan Langkah Kunci telah disepakati jajaran Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten dan Dinas Kesehatan Kota pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional 24-27 Juli 2002. Walaupun demikian kegiatan dalam setiap langkah kunci dapat dikembangkan terus sejalan dengan pencapaian hasil dari setiap kegiatan yang telah dilaksanakan dan isu baru yang muncul. Karena itu isi dokumen ini mungkin saja berubah sesuai dengan kebutuhan mendatang. Penerapan desentralisasi memerlukan waktu lama dan membutuhkan kesepakatan yang kuat dan jelas secara terus menerus. Pengalaman di negara-negara lain menunjukkan bahwa waktu 10 tahun belum berarti dalam menilai keberhasilan desentralisasi, oleh karena itu Desentralisasi bidang Kesehatan akan dilakukan secara bertahap dengan terus menerus dipantau dan setiap saat disesuaikan dengan kebutuhan. Desentralisasi Kesehatan sampai ke tingkat Kabupaten/Kota tidak berarti menghilangkan peran Pusat dan Provinsi. Peraturan Pemerintah R.I. Nomor: 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom telah jelas mengatur pembagian kewenangan tetapi berbagai peraturan perundangan yang menunjang juga perlu dibuat untuk kejelasan landasan hukum. Selain itu Departemen Kesehatan juga akan menetapkan berbagai pedoman dan standar yang akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Kebijakan Desentralisasi bidang Kesehatan. Buku ini belum sempurna karena itu saran dan kritik dari pengguna buku dan para pengamat kesehatan sangat diharapkan untuk memperbaiki isi buku ini sehingga semakin bermanfaat bagi penyelenggara pelayanan kesehatan baik Pemerintah maupun Swasta di era desentralisasi.
BAB I PENDAHULUAN
Desentralisasi pelayanan publik merupakan salah satu langkah strategis yang cukup populer dianut oleh negara-negara di Eropa Timur dalam rangka mendukung terciptanya good governance. Salah satu motivasi utama diterapkan kebijaksanaan ini adalah bahwa pemerintahan dengan sistem perencanaan yang sentralistik seperti yang telah dianut sebelumnya terbukti tidak mampu mendorong terciptanya suasana yang kondusif bagi partisipasi aktif masyarakat dalam melakukan pembangunan. Tumbuhnya kesadaran akan berbagai kelemahan dan hambatan yang dihadapi dalam kaitannya dengan struktur pemerintahan yang sentralistik telah mendorong dipromosikannya
pelaksanaan strategi desentralisasi. Pelaksanaan kebijaksanaan desentralisasi makin mendapatkan momentumnya sebagai salah satu pendekatan yang diharapkan dapat menciptakan efisiensi dan responsiveness serta meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam penyediaan pelayanan publik.
Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut azas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Ketetapan MPR Nomor: XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan; Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional, yang berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang Undang R.I. Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang R.I. Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah diberlakukan dan dijadikan pedoman penyelenggaraan pemerintahan bidang kesehatan. Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dan pelaksanaannya didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Karena itu kewenangan yang diberikan kepada Daerah mencakup kewenangan yang utuh dalam penyelenggaraan pemerintahan bidang kesehatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi, tetapi tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah. Sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor: IV/MPR/1999 tentang Garis - Garis Besar Haluan Negara 1999-2004, Pembangunan Kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, yang memberikan prioritas
pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan rehabilitasi sejak dalam kandungan sampai usia lanjut. Selain itu pembangunan bidang kesehatan juga diarahkan untuk meningkatkan dan memelihara mutu lembaga pelayanan kesehatan melalui pemberdayaan sumber daya manusia secara berkelanjutan, dan sarana prasarana dalam bidang medis, termasuk ketersediaan obat yang dapat dijangkau oleh masyarakat.
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah menyebutkan permasalahanpermasalahan yang mendasar yang dihadapi dalam penyelenggaraan otonomi daerah antara lain sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan otonomi daerah oleh Pemerintah Pusat selama ini cenderung tidak dianggap sebagai amanat konstitusi sehingga proses desentralisasi menjadi terhambat
2. Kuatnya kebijakan sentralisasi membuat semakin tingginya ketergantungan Daerah-daerah kepada Pusat yang nyaris mematikan kreativitas masyarakat beserta seluruh perangkat pemerintahan di Daerah
3. Adanya kesenjangan yang lebar antara Daerah dan Pusat dan antar Daerah sendiri dalam kepemilikan sumber daya alam, sumber daya budaya, infrastruktur ekonomi dan tingkat kualitas sumber daya manusia.
4. Adanya kepentingan melekat pada berbagai pihak yang menghambat penyelenggaraan otonomi daerah. Mengingat permasalahan-permasalahan tersebut di atas, kemudian dikeluarkan rekomendasi, antara lain:
• Daerah yang sanggup melaksanakan otonomi secara penuh dapat segera memulai pelaksanaannya 1 Januari 2001
• Daerah yang belum mempunyai kesanggupan melaksanakan otonomi secara penuh dapat memulai pelaksanaannya secara bertahap sesuai kemampuan yang dimilikinya Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom disebutkan bahwa kewenangan pemerintah dalam bidang lain (selain dalam politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama) meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional. Sedangkan kewenangan Provinsi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota serta kewenangan dalam bidang tertentu lainnya.
Disadari bahwa penerapan desentralisasi bukanlah proses yang sederhana. Tantangan yang komplek dan luas mulai dari aspek sumber daya manusia, pembiayaan, kelembagaan sampai sarana dan prasarana harus dicermati dan ditata kembali agar penerapan desentralisasi ini berhasil baik. Dalam percepatan implementasi otonomi daerah, pemerintah sudah mengambil langkah-langkah secara gradual dan sistematis, baik dalam kebijaksanaan maupun fasilitasi, sehingga diharapkan mendapat tindak lanjut oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Peranan Provinsi dalam melaksanakan desentralisasi adalah untuk mengefektifkan tugas Pemerintah agar mampu dilaksanakan oleh masingmasing Provinsi dalam meningkatkan kinerjanya yang dapat memayungi dan memfasilitasi Pemerintah Kabupaten dan Kota. Pemerintah Provinsi sebagai daerah administratif diharapkan mempunyai peran melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan di Daerah Kabupaten dan Kota, sehingga dapat mencerminkan gambaran yang sesungguhnya bahwa pelaksanaan otonomi daerah sudah berjalan.
Agar penyelenggaraan pelaksanaan upaya kesehatan dengan azas desentralisasi dapat dilakukan dengan baik dan terarah, berhasil guna dan berdaya guna, mekanisme pembinaan dan pengawasan yang baik sangatdipandang penting untuk diciptakan guna memantau dan mengevaluasi seluruh kegiatan di tiap wilayah.
BAB II
TUJUAN DAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI BIDANG KESEHATAN
Tujuan desentralisasi bermacam-macam. Secara filosofis dan ideologis, desentralisasi dianggap sebagai tujuan politik yang penting, karena memberikan kesempatan munculnya partisipasi masyarakat dan kemandirian daerah, dan untuk menjamin kecermatan pejabat-pejabat Pemerintah Daerah terhadap masyarakatnya. Di tingkat pragmatis, desentralisasi dianggap sebagai cara untuk mengatasi berbagai hambatan institusional, fisik dan administrasi pembangunan. Desentralisasi juga dianggap sebagai suatu cara untuk mengalihkan beberapa tanggungjawab pembangunan Pusat ke Daerah. Desentralisasi ini tidak dapat berjalan sendiri tanpa didukung oleh Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi disebutkan bahwa Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau Perangkat Pusat di Daerah. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan disebutkan bahwa Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan Desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. Penggunaan azas dekonsentrasi dimaksudkan untuk mendapatkan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan pemerintahan, pembangunan, pelayanan umum serta untuk menjamin hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Tujuan Desentralisasi di bidang kesehatan adalah mewujudkan pembangunan nasional di bidang kesehatan yang berlandaskan prakarsa dan aspirasi masyarakat dengan cara memberdayakan, menghimpun, dan mengoptimalkan potensi daerah untuk kepentingan daerah dan prioritas Nasional dalam mencapai Indonesia Sehat 2010.
Untuk mencapai tujuan desentralisasi tersebut ditetapkan Kebijakan Desentralisasi Bidang Kesehatan sebagai berikut:
A. Desentralisasi bidang kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah. Dalam hal ini desentralisasi bidang kesehatan harus dapat:
1. Memberdayakan dan meningkatkan peran masyarakat dalam pembangunan kesehatan, termasuk perannya dalam pengawasan sosial.
2. Menyediakan pelayanan kesehatan yang berkeadilan dan merata, tanpa membedakan antara golongan masyarakat yang satu dengan lainnya, termasuk menjamin tersedianya pelayanan kesehatan bagi kelompok rentan dan miskin.
3. Mendukung aspirasi dan pengembangan kemampuan Daerah melalui peningkatan kapasitas, bantuan teknik, dan peningkatan citra.
B. Pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan didasarkan kepada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Dalam hal ini maka:
1. Daerah diberi kewenangan seluas-luasnya untuk menyelenggarakan upaya dan pelayanan kesehatan dengan Standar Pelayanan Minimal yang pedomannya dibuat oleh Pemerintah Pusat.
2. Daerah bertanggung jawab mengelola sumber daya kesehatan yang tersedia di wilayahnya secara optimal guna mewujudkan kinerja Sistem Kesehatan Wilayah sebagai bagian dari Sistem Kesehatan Nasional.
C. Desentralisasi bidang kesehatan yang luas dan utuh diletakkan di Kabupaten dan Kota, sedangkan desentralisasi bidang kesehatan di Provinsi bersifat terbatas.
D. Pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah. Dalam hal ini maka:
1. Desentralisasi bidang kesehatan tidak boleh menciptakan dikotomi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat berwenang dalam pengembangan kebijakan, standarisasi, dan pengaturan. Pemerintah Kabupaten/Kota melaksanakan kebijakan, standar dan aturan tersebut. Sedangkan Pemerintah Provinsi melakukan pengawasan dan pembinaan atas pelaksanaan upaya kesehatan oleh Daerah Kabupaten/Kota.
2. Desentralisasi bidang kesehatan diselenggarakan dengan membangun jejaring antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Pemerintah Daerah yang saling melengkapi dan memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa dan Negara Indonesia.
E. Desentralisasi bidang kesehatan harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom. Pemerintah Pusat berkewajiban memfasilitasi pelaksanaan pembangunan kesehatan Daerah dengan meningkatkan kemampuan Daerah dalam pengembangan sistem kesehatan dan manajemen kesehatan.
F. Desentralisasi bidang kesehatan harus lebih meningkatkan peran dan fungsi Badan Legislatif Daerah, baik dalam hal fungsi legislasi, fungsi pengawasan, maupun fungsi anggaran.
G. Sebagai pelengkap desentralisasi bidang kesehatan dilaksanakan pula Dekonsentrasi bidang kesehatan yang diletakkan di Daerah Provinsi sebagai wilayah administrasi. Azas dekonsentrasi ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada Daerah Provinsi untuk melaksanakan kewenangan tertentu di bidang kesehatan yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
H. Untuk mendukung desentralisasi bidang kesehatan dimungkinkan pula dilaksanakan Tugas Pembantuan di bidang kesehatan, khususnya dalam hal penanggulangan kejadian luar biasa, bencana, dan masalah-masalah kegawat-daruratan kesehatan lain.
BAB III
HAMBATAN DAN TANTANGAN
Desentralisasi merupakan perubahan fundamental dalam sistem pemerintahan. Perubahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi yang mendadak (dalam waktu singkat) sering memberikan respon yang negatif yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan dalam pelaksanaan program.
Berdasarkan permasalahan, tantangan dan pengalaman masa lalu diidentifikasi beberapa isu strategik sebagai berikut:
A. Komitmen dari semua pihak terkait
Dalam upaya menerapkan desentralisasi dibutuhkan komitmen dari semua pihak terkait (stakeholders), baik dari lingkungan jajaran Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Lembaga Legislatif, masyarakat luas serta mitra Internasional. Karena selama ini belum dirasakan pemahaman yang sama maka diperlukan:
1. Kesamaan pemahaman akan pentingnya kesehatan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia sesuai dengan prinsipparadigma sehat dan pembangunan berwawasan kesehatan.
2. Upaya untuk meningkatkan citra dan manfaat pelayanan kesehatan bagi semua lapisan masyarakat sehingga mampu menarik dukungan dan peran aktif masyarakat.
3. Upaya untuk meningkatkan sumber daya di bidang kesehatan termasuk pembiayaan, sumber daya manusia pelaksana, sarana dan prasarana untuk mencapai keberhasilan pembangunan kesehatan.
B. Kelangsungan dan keselarasan pembangunan kesehatan
Dalam tatanan Otonomi Daerah, keberhasilan Pembangunan Nasional di bidang kesehatan sangat ditentukan oleh keberhasilan pembangunan di Daerah. Kemandirian masing-masing Daerah dalam pengambilan
keputusan perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pemerataan derajat kesehatan antar Daerah
2. Penanggulangan masalah kesehatan lintas batas Kabupaten/Kota, lintas Provinsi dan lintas Negara.
3. Meningkatkan sinergi antar Daerah untuk meningkatkan daya saing di arena internasional.
4. Mencegah terjadinya deviasi pasar industri kesehatan.
C. Ketersediaan dan pemerataan sumber daya manusia kesehatan yang berkualitas
Ketersediaan sumber daya manusia kesehatan (SDM Kesehatan) yang berkualitas dan profesional sangat menentukan keberhasilan penerapan desentralisasi. Pada saat ini jumlah, kualifikasi dan penyebaran SDM Kesehatan yang tersedia, baik manajerial maupun teknis, masih belum memadai, khususnya tenaga kesehatan strategis. Walaupun dalam tatanan Otonomi Daerah masing-masing Daerah memiliki kewenangan untuk menentukan sendiri kebutuhan, melakukan rekruitmen dan mempertahankan sumber daya manusia, Pemerintah perlu memperhatikan agar terjamin keseimbangan distribusi SDM Kesehatan antar-Daerah, melalui :
1. Pengembangan kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan SDM Kesehatan
2. Pengembangan model-model alternatif pendayagunaan SDM Kesehatan
D. Kecukupan pembiayaan kesehatan
Kecukupan alokasi pembiayaan kesehatan dalam anggaran pemerintah baik Pusat maupun Daerah merupakan faktor penting keberhasilan desentralisasi dalam bidang kesehatan. Pemerintah Pusat dan Daerah perlu memberikan perhatian khusus untuk mengalokasikan anggaran yang mencukupi bagi pembangunan kesehatan dengan mempertimbangkan kemampuan Pemerintah Daerah dan masalah kesehatan yang dihadapi. Hal ini menjadi makin kritis karena alokasi dana Pusat diberikan dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), sedangkan pembangunan kesehatan belum tentu menjadi prioritas. Pemerintah Pusat seharusnya menjamin Pemerintah Daerah mempunyai dana yang cukup untuk mencapai Standar Pelayanan Minimal Kewenangan Daerah dari sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus (DAK) dan penerimaan lainnya yang sah. Pemerintah juga harus dapat menjamin tersedianya pembiayaan bagi kelompok rentan dan miskin serta pelayanan yang bersifat public goods, kejadian luar biasa dan bencana.
E. Kejelasan pembagian kewenangan dan pengaturan kelembagaan
Desentralisasi bidang kesehatan mengharuskan perubahan peran dan kewenangan pemerintah di segala tingkat, dari Pusat sampai ke Daerah. Oleh karenanya kejelasan peran dan kewenangan di masing-masing tingkat administratif menjadi sangat penting agar penerapan desentralisasi tidak gagal. Peraturan Pemerintah yang telah diterbitkan masih memerlukan kejelasan operasional dan penghayatan dari para pelaksana di semua tingkat.
F. Kelengkapan sarana dan prasarana kesehatan
Desentralisasi yang berupa penyerahan wewenang pemerintahan kepada Pemerintah daerah diikuti pula dengan pengalihan sarana dan prasarana kesehatan. Kelengkapan sarana dan prasarana juga merupakan faktor yang ikut menentukan dalam keberhasilan penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Pengalihan sarana dan prasarana hendaknya diikuti penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan yang memadai sehingga dapat menjamin kelangsungan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
F. Kemampuan manajemen kesehatan dalam penerapan desentralisasi
Kemampuan perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan pengorganisasian, pemantauan dan evaluasi di masing-masing Daerah untuk mengelola bidang kesehatan yang terdesentralisasi menuju Indonesia Sehat 2010 masih perlu ditingkatkan. Sistem informasi yang merupakan komponen dari manajemen kesehatan yang terdesentralisasi masih harus terus dikembangkan. Selain itu, perubahan yang fundamental dalam penerapan desentralisasi membutuhkan kemampuan dalam pengelolaan proses transisi dari sistem yang sentralistik ke sistem yang desentralistik.
BAB IV
TUJUAN STRATEGIS, LANGKAH KUNCI DAN KEGIATAN
Guna mencapai keberhasilan penerapan desentralisasi dalam bidang kesehatan, Departemen Kesehatan merumuskan 5 tujuan strategis sebagai berikut:
a. Upaya membangun komitmen Pemda, Legislatif, Masyarakat dan Stakeholder lain dalam kesinambungan pembangunan kesehatan.
b. Upaya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia.
c. Upaya perlindungan kesehatan masyarakat khususnya terhadap penduduk miskin, kelompok rentan dan daerah miskin.
d. Upaya pelaksanaan komitmen Nasional dan Global dalam program kesehatan Daerah
e. Upaya penataan manajemen kesehatan di era desentralisasi trategi tersebut ke langkah=langkah kunci atan Di Era Desentralisasi ya Setiap tujuan strategis dijabarkan dalam langkah-langkah kunci.
Tujuan Strategis A dijabarkan menjadi 8 langkah kunci, Tujuan Strategis B menjadi 5 langkah kunci, Tujuan Strategis C menjadi 3 langkah kunci, Tujuan Strategis D menjadi 3 langkah kunci, dan Tujuan Strategis E menjadi 10 langkah kunci, sehingga semua berjumlah 29 langkah kunci. Pencapaian langkah kunci ditentukan oleh serangkaian kegiatan yang
dilaksanakan oleh Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.mitmen Nasional d A. Upaya membangun komitmen Pemda, Legislatif, Masyarakat dan Stakeholder lain dalam kesinambungan pembangunan kesehatan. Sasaran tujuan strategis ini adalah memastikan adanya komitmen yang kuat di setiap tingkat administrasi untuk keberhasilan penerapan desentralisasi, meningkatnya citra dan manfaat pelayanan kesehatan serta meningkatnya peran masyarakat di bidang kesehatan.
1. Langkah Kunci 1
Memantapkan Sinergi antara Unit Utama di Departemen Kesehatan, Lintas Sektor dan Stakeholder terkait Agar tercapai kegiatan lintas program, lintas proyek, lintas sektor yang efektif dan efisien serta mendapat lessons learned dan best practices untuk replikasi, ekstensifikasi dan sustainability perlu dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
a. Penyelenggaraan Rapat Koordinasi Pimpinan dan Rapat Koordinasi Staf di lingkungan Departemen Kesehatan secara rutin
b. Fasilitasi forum komunikasi Sekretaris Eksekutif Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN)
c. Penyelenggaraan rapat triwulanan Tim Pengarah dan rapat bulanan Tim Teknis Unit Desentralisasi
d. Penyelenggaraan pertemuan lintas sektor untuk pemantapan sinergi secara rutin
e. Penyelenggaraan pertemuan rutin dengan stakeholder terkait (quarterly donor meeting, PERSI, dan lain-lain)
2. Langkah Kunci 2
Memantapkan Sinergi antar Unit di Daerah Desentralisasi pada dasarnya bertujuan mengoptimalkan potensi daerah, sehingga perlu dihimpun berbagai prakarsa dan aspirasi yang tersedia agar kegiatan lebih efektif dan efisien. Untuk mencapai tujuan itu perlu dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Penyelenggaraan Rakorpim dan Rakorstaf di lingkungan Dinas Kesehatan secara teratur
b. Penyelenggaraan pertemuan lintas sektor untuk pemantapan sinergi di daerah secara teratur
c. Penyelenggaraan pertemuan rutin dengan stakeholder terkait
3. Langkah Kunci 3
Fasilitasi Kemampuan Advokasi/Negosiasi Agar sektor kesehatan mendapatkan anggaran kesehatan yang memadai serta merupakan main stream dalam pembangunan berwawasan sehat, maka pimpinan dan staf Dinas Kesehatan, Rumah Sakit Daerah dan Unit Pelaksana Teknis perlu mempunyai kemampuan advokasi dan negosiasi melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
a. Review dan inventarisasi modul, pedoman dan kegiatan advokasi dan negosiasi yang ada atau telah dilakukan
b. Penyusunan, penggandaan dan distribusi Pedoman Advokasi/ Negosiasi berdasarkan evidence based
c. Penyusunan, penggandaan dan distribusi modul pelatihan advokator dan negosiator
d. Penyusunan Advokasi-Kit
e. Assessment kebutuhan jenis pelatihan advokasi/ negosiasi
f. Pelatihan advokator dan negosiator
4. Langkah Kunci 4
Fasilitasi Kabupaten/Kota dalam Penyusunan dan Pembiayaan Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Untuk menjamin terwujudnya hak individu dan akses masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan dari kewenangan wajib daerah serta mendapatkan prioritas pendanaan, perlu dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
a. Kajian pelaksanaan SPM bidang kesehatan
b. Fasilitasi Provinsi untuk pelaksanaan kewenangan wajib daerah yang ditetapkan pemerintah agar menjadi prioritas bagi Daerah.
c. Fasilitasi Provinsi untuk menyusun SPM Kabupaten/Kota bersamasama Pemerintah Kabupaten/Kota.
d. Fasilitasi Kabupaten/Kota dalam penyediaan pembiayaan pelaksanaan SPM
BAB V
PENUTUP
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, desentralisasi bidang kesehatan bukanlah proses yang mudah dan sederhana. Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan terletak pada prakarsa, inovasi, dan kesungguhan Daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan kesehatannya. Selain dari itu, keberhasilan pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan juga ditentukan oleh kemampuan dan kemauan Pemerintah Pusat dalam membantu dan memfasilitasi pelaksanaan pembangunan kesehatan di Daerah tersebut. Penetapan Kebijakan dan Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan, perlu didukung dengan advokasi terhadap pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders). Kesamaan pengertian, efektivitas kerjasama atau kemitraan dan sinergi antara aparat kesehatan Pusat dengan aparat kesehatan Daerah menjadi penting sebagai indikator pencapaian tujuan desentralisasi bidang kesehatan.
Perlu kita ingat bahwa pada akhirnya yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan secara nasional adalah Departemen Kesehatan, karena fungsi Pemerintah adalah mensejahterakan masyarakatnya berdasarkan kepercayaan dan legitimasi yang telah diperolehnya dalam mengemban
tugasnya.
KEPUSTAKAAN
1. Ahmad Sujudi et al, Perjalanan Menuju Indonesia Sehat 2010, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2002
2. Departemen Kesehatan RI, Rencana Strategis Pembangunan Kesehatan 2001-2004, Jakarta, 2001
3. Departemen Kesehatan RI, Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan, Jakarta, 2001
4. Departemen Kesehatan RI, Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010, Jakarta, 1999
5. Mills, Anna dan Vaughan, J.Patrick et al(Editor), Desentralisasi Sistem Kesehatan, Konsep-konsep, isu-isu dan pengalaman di berbagai negara, penerjemah dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, penyunting dr. Susanto Agus Wilopo,M.Sc,D.Sc, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002
6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara tahun 2000 No. 54)
7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara tahun 2001 No. 41)
8. Prijono Tjiptoherijanto, SE, MA, Ph.D dan Budi Susetyo, SE, M.Sc, Ph.D, Ekonomi Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1994
9. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
10. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi
11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional tahun 2000-2004, (Lembaran Negara tahun 2000 No. 206)
12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara tahun 1999 No. 60, Tambahan Lembaran Negara No. 3899)
13. Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara No. 3848)
14. Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor: 3851)
15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara tahun 1992 No. 100, Tambahan Lembaran Negara No. 3495)
2 komentar:
Thank you for the information that has been given ^_^
Obat Tradisional Hilangkan Poliposis Familial
the information is very good and very useful for me ^_^
Obat Tradisional Limpa Bengkak
Posting Komentar